Kekosongan

Seketika suara apartemen berubah menjadi dingin. Bukan karena cuaca, melainkan Hange tidak lagi hadir dengan tawa dan obrolan-obrolan absurd yang dulu membuat Levi mengerutkan alis—dan diam-diam tersenyum.

Levi duduk di sofa ruang tengah—tempat yang dulunya menjadi pangkuan hangat dalam banyak malam penuh tawa.

Hari-hari Levi kini dipenuhi sunyi yang ia sendiri tak pernah pikir akan ia rindukan. Ia menatap langit malam lewat celah jendela, berharap Hange bisa melihatnya dari tempat tinggi itu—yang tak bisa ia jangkau, sebab terlampau jauh.

Han, aku baru menyadari kalau ternyata aku ini lebih banyak diamnya,” gumam Levi lirih. “Aku jarang banget bilang kalau aku cinta sama kamu.

Udara malam semakin pekat, seakan ikut tenggelam dalam kesedihan yang Levi simpan di dadanya. Lampu di langit-langit ruangan menyala redup, memantulkan bayangan Levi yang kini membungkuk di atas sofa.

Levi menunduk, bahunya mulai berguncang pelan. Isakan pertama pecah begitu saja, lirih dan tertahan, seperti takut mengganggu keheningan yang terlalu sakral untuk dipatahkan.

Aku... aku gak bisa, Han,” suaranya pecah, nyaris tak terdengar. Air mata mengalir dari sudut matanya, membahasahi pipi yang selama ini lebih banyak menampung luka dibanding kelembutan. “Dari semua kehilangan yang aku rasakan... cuma kehilangan kamu yang nggak bisa aku terima.

Tangannya terulur, mencoba meraih sesuatu yang tak ada lagi. Udara kosong, dingin, dan sepi membalas genggamannya dengan hampa.

Kini, hidupnya gelap kembali. Levi kehilangan cahayanya.