duatigaljn

Erwin baru saja mematikan mesin mobilnya ketika ia melirik Hange yang berdiri santai di pintu basement, mengenakan hoodie abu-abu yang tentunya itu milik Erwin dan celana panjang berwarna hitam. Rambutnya diikat asal, dan wajahnya tanpa riasan sama sekali. Tapi bagi Erwin, Hange tetap terlihat cantik.

Tak butuh waktu lama untuk keduanya sampai di tempat yang dimaksud oleh Hange—tukang bubur di seberang sekolah SMA yang setiap dulu dia datangi bersama teman-temannya. Meja plastik berderet, kursi biru bergoyang sedikit, dan aroma kuah bubur menguar di udara yang sejuk.

“Aku dulu pas sekolah sering sarapan di sini, bareng teman-temanku.” ucap Hange sembari duduk.

Erwin hanya mengangguk, ia sedikit canggung, tapi tetap tersenyum. Dia tak pernah sarapan atau makan di pinggir jalan. Dunia Erwin adalah restoran bintang lima sejak dulu. Namun, pagi ini berbeda. Ia berada di sini karena seseorang yang sangat dicintainya ingin dikenang melalui semangkuk bubur hangat.

Mereka makan dalam diam yang terasa hangat. Sesekali Hange mencuri pandang ke arah Erwin, lalu bertanya pelan, “Enak nggak?”

Erwin mengangguk, “Enak. Next time ajak aku lagi sarapan di sini, ya.”

Mata Hanger berbinar, seperti anak kecil yang baru saja membagikan hal favoritnya.

Di sekeliling mereka, kehidupan berlangsung: anak SMA lewat, motor meraung, dan suara tukang gorengan yang bersaing dengan klakson. Tapi bagi Hange dan Erwin, pagi ini terasa seperti jeda, seperti lorong waktu yang mempertemukan dua dunia tanpa perlu mengubah siapa pun.

Mereka masih menikmati suapan terakhir bubur ketika suara anak SMA yang berlarian membuat Hange menoleh. Beberapa dari mereka berhenti mendadak, mata membesar seperti baru saja menemukan harta karun.

“Itu Hange Zoe! Ya ampun, aku suka banget sama dia!”

Suara itu cukup lantang untuk membuat dua orang lainnya ikut melirik. Tiga anak remaja berseragam mendekat, sedikit malu-malu tetapi tetap bersinar dan semangat.

“Kak Hange,” ucap salah satu dari mereka, perempuan dengan pita merah di rambutnya. “Maaf ganggu... tapi Kak, ya ampun cantik banget! Boleh foto bareng?”

Hange tertawa pelan. Ia menyentuh pipinya dengan telapak tangan. “Masa sih? Ini muka bangun tidur lho, gak pakai make up.”

“Itu justru keren!” timpal yang lain, laki-laki berambut ikal. “Kayak... jadi bukti kalau cantiknya tuh asli!”

Erwin tersenyum tipis memandangi Hange. Ada rasa bangga yang tak dia sembunyikan.

Hange bangkit dari kursi dan berdiri diantara mereka. “Ok, yuk foto!”

Setelah sesi foto selesai, gadis pertama yang berbicara, lalu berkata, “Kak Hange kelihatan bahagia banget. Kayaknya karena lagi duduk sama orang tersayang, ya?”

Hange menoleh ke arah Erwin yang tengah memperhatikannya. Tatapan mereka bertemu sebentar, lalu ia menjawab, “Iya... dia bukan cuma orang tersayang, tapi dia juga yang bikin aku bisa jadi diriku sendiri.”

Seketika suara apartemen berubah menjadi dingin. Bukan karena cuaca, melainkan Hange tidak lagi hadir dengan tawa dan obrolan-obrolan absurd yang dulu membuat Levi mengerutkan alis—dan diam-diam tersenyum.

Levi duduk di sofa ruang tengah—tempat yang dulunya menjadi pangkuan hangat dalam banyak malam penuh tawa.

Hari-hari Levi kini dipenuhi sunyi yang ia sendiri tak pernah pikir akan ia rindukan. Ia menatap langit malam lewat celah jendela, berharap Hange bisa melihatnya dari tempat tinggi itu—yang tak bisa ia jangkau, sebab terlampau jauh.

Han, aku baru menyadari kalau ternyata aku ini lebih banyak diamnya,” gumam Levi lirih. “Aku jarang banget bilang kalau aku cinta sama kamu.

Udara malam semakin pekat, seakan ikut tenggelam dalam kesedihan yang Levi simpan di dadanya. Lampu di langit-langit ruangan menyala redup, memantulkan bayangan Levi yang kini membungkuk di atas sofa.

Levi menunduk, bahunya mulai berguncang pelan. Isakan pertama pecah begitu saja, lirih dan tertahan, seperti takut mengganggu keheningan yang terlalu sakral untuk dipatahkan.

Aku... aku gak bisa, Han,” suaranya pecah, nyaris tak terdengar. Air mata mengalir dari sudut matanya, membahasahi pipi yang selama ini lebih banyak menampung luka dibanding kelembutan. “Dari semua kehilangan yang aku rasakan... cuma kehilangan kamu yang nggak bisa aku terima.

Tangannya terulur, mencoba meraih sesuatu yang tak ada lagi. Udara kosong, dingin, dan sepi membalas genggamannya dengan hampa.

Kini, hidupnya gelap kembali. Levi kehilangan cahayanya.

Semuanya terasa sangat sulit. Tapi, mau bagaimanapun, mau tidak mau, saya harus menjalani semua ini. Dunia enggak akan pernah berhenti berputar hanya karena ada satu manusia di dalamnya yang merasa kesulitan menjalani hidupnya.

Terkadang, dunia sebecanda itu, ya?

Saya sudah sering mengatakan kepada diri saya sendiri bahwa jangan pernah menaruh sebuah ekspetasi atau harapan yang sebegitu tingginya kepada orang lain. Sebab, nggak semua orang itu bisa sesuai sama apa yang diharapkan.

Kalau begitu, apa yang saya dapat nantinya?

Ya tentu saja rasa kecewa.

Semesta itu unik, ya? Terkadang ia selalu memberikan sesuatu yang sebenarnya tidak kita inginkan.

Sudah berkali-kali saya bilang, jangan pernah lagi kamu berharap kepada manusia. Because if the end is not what you expected, you will be disappointed.

Dari awal tuh, no one told you to have such expectations of him.

Bagaimanapun juga, dunia akan terus berjalan. Dunia enggak akan berhenti sekalipun meski dia tahu kalau kamu tidak baik-baik saja. Sebab, dunia berjalan bukan hanya untuk kamu saja.